Jalan yang terbentang sangat lebar dan besar namun
tetap tidak cukup menjamin kelancaran mobilitas padatnya kendaraan yang lewat.
Mungkin sepeti itulah saya dapat menggambarkan kota Jakarta. Udara panas dan
kemacetan menemani kami ketika berangkat dari wisma kabupaten Bantul di jalan
Kaji ke sekretariat IKOHI. Tiba di tempat tujuan kami di sambut oleh senyuman
dan jabatan tangan pengurus dan anggota IKOHI, yang telah menunggu kami. Adalah
ibu Yeti, sekretaris IKOHI yang membuka pertemuan kami. Ibu Yeti ditemani oleh
mas Zainal sebagai programmer
menjelaskan kepada kami tentang IKOHI. IKOHI adalah singkatan dari Ikatan
Keluarga Orang Hilang Indonesia. Mereka tidak hanya bergerak dengan usaha
mencari bantuan advokasi terhadap korban dan keluarga korban tetapi juga
pemulihan mental atau psikis dari keluarga yang mengalami penghilangan secara
misterius oleh pemerintah. Di tempat kami berdiskusi hadir juga pak Benny dan ibu
Maria Sanu yang juga menjadi anggota
IKOHI. Pak Benny dulunya memiliki kakak yang aktif berpolitik dan
memihak rakyat. Bahkan penghargaan dari Presiden dia tolak untuk menjaga
kenetralan integritasnya. Namun apa yang menjadi prinsipnya juga menjadi
penyebab penghilangan dirinya. Peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 tidak
pernah terlupa oleh pak Benny. Waktu itu dua orang suruhan pemerintah memasuki
masjid tanpa melepas sepatu. Belum jelas apa tujuan kedua orang tersebut. Namun
wilayah sekitar masjid itu memang adalah pusat partat PPP yang menolak untuk
tunduk secara ideologi terhadap Soeharto. Terang saja, hal itu memicu amarah
warga setempat. Namun bukannya ditahan oleh polisi untuk meredakan dan
menghindari amukan warga, kedua pria itu ditahan di kodim. Selang beberapa hari
rombongan warga menuntut unutnk memindahkan kedua tahanan tersebut ke kantor
polisi setempat. Tapi ketika mereka berarak kesana yang mereka dapatkan adalah
pagar betis dari tentara dan akhirnys tidak dapat dihindarkan terjadilah
kekacauan. Kekacauan tersebut mengakibatkan hilangnya secara misterius sejumlah
orang orang termasuk kakak pak Benny.
IKOHI
juga sempat beraksi di depan istana kepresidenan. Mereka menuntut
dikembalikakannya 13 orang yang hilang dalam kerusuhan Mei ’98. Maksud utama
mereka sebenarnya bukanlah meminta agar keluarga mereka dikembalikan tapi agar
terselenggaranya pengadilan HAM bagi para korban. Mereka ingin agar para pelaku
penghilangan orang pada kerusuhan Mei ’98 mendapat ganjaran yang setimpal.
Disebutkan bahwa tim mawar yang dikepalai oleh Prabowo bertanggungjawab atas
peristiwa tersebut. Salah seorang dari yang ikut berdemo adalah Arie Priambodo,
dia adalah mahasiswa fakultas filsafat UGM. Kakaknya yang bernama Petrus
Priambodo manjadi salah satu korban orang hilang di kerusuhan tersebut. Mereka sempat
mengantarkan surat juga kepada Presiden namun entah apakah sampai ke tangan
presiden atau tidak.
Lain pak Benny lain pak Effendi
Saleh. Pak Effendi adalah salah seorang mantan tapol di pulau Buru. Dulunya dia
adalah salah seorang anggota dari SOBSI. SOBSI adalah serikat organisasi buruh
seluruh Indonesia. Dulunya dia bekerja sebagai karyawan unilever. Pada waktu
itu dia sempat ikut pelatihan militer di dekat lubang buaya pada malam
peristiwa G30S/PKI. Dia dan banyak orang lainnya mendapat izin dari pihak
perusahaan untuk mengikuti pelatihan tersebut. Dia dan rekan senasibnya
mengikuti pelatihan tersebut karena mengira pelatihan tersebut dalam rangka nasionalisasi
perusahaan asing dan mengikuti gerakan ganyang Malaysia. Namun ternyata karena
gerakan pemutihan atau penghapusan PKI. Soeharto “menyikat” habis semua yang
memiliki hubungan dengan PKI. Termasuk pak Effendi dan teman-temannya yang
turut berlatih di dekat lokasi kejadian. Apalagi mereka anggota partai buruh.
Perlu dicatat karena gerakan PKI adalah gerakan yang memiliki kekuatan buruh
sebagai kekuatan utama. Sehingga pak Effendi dan teman-temannya dapat dikatakan
berada di tempat yang salah dan waktu yang salah. Mereka mengalami penangkapan
dan penahanan secara semena-mena tanpa proses pengadilan. Setelah mendapat cukup
banyak pengalaman yang dibagikan kami pamit untuk pulang ke wisma. Sebelum
pulang kami berfoto bersama dan mereka memberikan kenang-kenangan.
Pada
tanggal 26 siang hari kami berangkat ke gedung DPR. Terus terang segala hal
terasa berbeda. Dari sejak masuk ke tempat parkir kami di periksa oleh
satpam-satpam yang tidak menyeramkan. Gedung DPR sebagaimana ciri khas
gedung-gedung di Jakarta memiliki kemegahan tersendiri. Pada kesempatan awal
kami mengunjungi partai Gerindra yang berada di lantai 13. Dari lantai tersebut
dapat terlihat kota Jakarta secara berbeda. Terlihat juga masjid dan gedung
kembar yang berada di sebelahnya serta tidak kalah besarnya. Awalnya kami
menunggu cukup lama kedatangan wakil dari partai Gerindra tersebut. Namun
pengertian dari tuan rumah yang memberi kami makan cukup menghibur kami. Sempat
terpikir oleh saya jika seandainya sekali makan anggota DPR semahal ini,
menurut taksiran saya 20 ribu rupiah, itu merupakan pemborosan. Apalagi gaji
anggota DPR berkisar puluhan juta dengan segala macam tambahannya. Gaji seperti itu tentu sudah cukup untuk
membiayai makan sendiri.
Amat sangat disayangkan bahwa kami harus terbagi
dua kelompok, Kelompok A Fraksi Gerindra di lantai 17 yang
disambut oleh Edhy Prabowo MM. MBA yang agak terlambat dalam mengikuti diskusi
dikarenakan sedang ada rapat dengan KOMISI VI DPR RI dalam membahas proyek
mobil Esemka untuk diproduksi secara masal dan akan diekspor juga ke luar
negeri. Diskusi kali ini berjalan cukup ringan, beberapa poin penting dalam
diskusi ini :
- Pembukaan
dari diskuso oleh bapak Edhy beliau menceritakan tentang sejarah hidupnya
sampai bertemu dengan Prabowo Subiyanto dan mengikutinya sampai sekarang
- Fraksi
Gerindra merupakan fraksi pertama yang menolak pembangunan gedung baru DPR
- Tentang Bailout bank century fraksi gerindra juga memiliki wakil yang bekerja sebagai Pansus dan akan tetap mengusut kemana aliran dana trilyunan rupiah itu
Fraksi Gerindra DPR-RI
Kelompok B segera menuju ke ruangan fraksi
partai PDI-P. Tokoh yang akan kami temui adalah Maruarar Sirait. Sebagaimana
biasanya kami harus menunggu lagi. Tapi pada kesempatan ini hal itu cukup
memberi kami waktu untuk menunggu teman-teman yang di fraksi Gerindra. Kami
dijamu oleh sekretaris pak Maruarar sehingga sekali lagi kami makan siang di
kantin nusantara 1. Saya kenyang sekali siang itu. Kembali ke ruangan fraksi
PDI-P kami diberi kue lagi. Sebelum
teman-teman yang lain datang kami diajak oleh sang sekretaris untuk
melihat-lihat ruangan kerja pak Maruarar Sirait. Tidak lama setelah itu teman-teman yang lain
datang, begitu juga pak Maruarar. Kami mulai memasuki pembicaraan diskusi.
Sekali lagi pak Maruarar Sirait mengajak kami untuk melihat ruangannya. Dia
ingin menujukkan beberapa hal yang tidak wajar
di DPR. Seperti rencana pembangunan
gedung baru DPR, pembangunan ruang banggar dan toilet di DPR. Dia dengan jelas menyatakan sifatnya yang menentang
hal-hal yang jelas merugikan. Pak Maruarar menceritakan kisahnya ketika
mengumpulkan tanda tangan untuk mengusut kasus bank Century. Dia menceritakan
kesusahan dan tantangan yang dia lalui. Bagaimana dari awal dia memiliki
sedikit pendukung sampai akhirnya dia bisa mendapatkan banyak dukungan yang
berarti.
Pak Maruarar banyak menceritakan
tentang bagaimana persiapan itu sangat penting untuk mencapai kemenangan. Victory loves preparation. Ia
menceritakan kisahnya dari hal yang sederhana sampai kepada hal yang terbesar.
Mulai dari persiapannya untuk menang pada turnamen bulu tangkis sewaktu dia SD
dan sampai ia memenangkan pemilhan di Subang dalam pemilu caleg. Dia
menceritakan pentingnya menjaga amanat rakyat dan mendapatkan rasa kekeluargaan
dari rakyat. Sebagai contoh ia memberi sapi kurban pada idul kurban, merayakan
ulang tahun anaknya bersama penduduk, serta yang terakhir ini mengurus sengketa
tanah di Subang. Menurut saya dalam banyak hal yang pak Marurar katakan banyak
benarnya, tentu saja kebenaran itu terlepas dari pribadinya. Seperti pepatah
jika seekor beruk mengtakan kebenaran itu tetap saja adalah kebenaran meski dia
seekor beruk. Jadi saya tidak akan men-judge
individu tetapi perkataannya. Pak Maruar Sirait juga memberitahukan bahwa
sebenarnya yang paling dapat menghancurkan kita adalah orang-orang yang berada
di sekitar kita ketimbang musuh kita. Dia menceritakan tentang inner circle. Jadi inner circle
adalah
apa yang berda di sekitar kita dan menentukan siapa dan menjadi apa kita. Namun
dalam bahasan kali ini inner circle yang
dimaksud adalah inner circle dalam
dunia politik yaitu, keluarga, pengusaha, partai, birokrat dan teman kursus.
Ini semua menentukan setiap orang menjadi politisi seperti apa. Dia juga menekankan bahwa sebagai manusia penting untuk
memiliki prinsip, mengikuti proses dan berorientasi pada hasil. Memang
dalam hal penyampaian dari pak Maruarar dia hanya mengatakan hal-hal yang baik
saja tentang dirinya dan tidak mengatakan saat-saat dia mengalami kejatuhan dan
saat-saat terburuknya. Namun meski begitu apa yang dikatakannya sangat baik. Setelah
diskusi kami berfoto bersama dan kami
bergegas untuk meningggalkan ruangan. Kami juga sempat diliput oleh wartawan Rakyat Merdeka. Berita lengkap bisa klik disini
Fraksi PDI-P DPR RI
Tujuan kami selanjutnya adalah Serikat
Buruh di Indonesian Tower. Saat kami kesana terus terang saja kami mengalami
perjalanan yang cukup sulit. Kami
dihadang macet dan sempat salah arah. Bahkan sebagian rombongan tidak dapat
sampai ke tempat tujuan. Alhasil hanya sebagian dari kami yang mengikuti
pertemuan dengan Serikat Buruh. Dalam pertemuan ini dibahas bagaimana sistem
yang berlaku di Indonesia tidak menyejahterakan buruh tetapi justru sebaliknya membuat
para buruh untuk tetap tersiksa dan tidak bisa mendapat penghidupan yang lebih
baik. Pada saat itu dibahas juga bagaimana diadakannya rancangan program perlindungan
sosial oleh pemerintah. Namun anehnya dalam program tersebut peran pemerintah
justru sangat minim. Program itu membuat semacam subsidi silang di mana yang
kaya membayar pajak lebih tinggi untuk membantu kesejahteraan yang miskin.
Sepintas hal ini terlihat cemerlang namun ini berarti pemerintah menyerahkan
penyelesaian masalah kepada penduduknya sendiri dan berusaha lepas tangan. Malam
itu setelah kami tiba di wisma kami sangat lelah karena telah mengalami hari
yang cukup berat.
Pagi hari karena bangun terlambat
kami mendapat teguran langsung dari pak Idham karena ternyata pak Johan Effendi
telah menunggu kami. Setelah agak lama kami mencari tempat pertemuan kami dan
setelah cukup lama menunggu kami mendapat suguhan makanan langsung oleh pak
Johan Effendi. Kesan pertama setelah saya melihat beliau adalah orang ini
sangat lembut, auaranya sungguh bersahabat. Beliau adalah mantan Mensesneg pada
masa pemerintahan Gus Dur. Sama seperti Gus Dur, beliau juga mewarisi paham pluralisme
yang baik. Layaknya seorang
kakek yang becerita kepada cucunya dia bercerita tentang zaman ketika perbedaan
ideologi tidak menjadi pengahalang rasa kekeluargaan. Dia memberikan contoh
salah seorang dari tokoh partai Masyumi yang sangat anti komunis. Kalau tidak salah namannya Isa.
Isa ini meski sering bertentangan pendapat dengan D.N. Aidit namun setelah
rapat mereka justru makan bersama di rumah Isa. Rasa kekeluargaan seperti
itulah yang sekarang sudah mulai luntur katan beliau. Dia menyoroti bagamana
sekarang rasa tenggang rasa dan toleransi sudah mulai luntur dengan banyaknya
penghancuran rumah ibadah. Namun diskusi kami tidak selesai sampai di situ
namun diskusi tersebut dilanjutkan hari esoknya di CSIS. Kami mohon pamit
karena kami harus ke DPP PDI-P.
Ketika
tiba di DPP PDI-P kami disambut oleh koordinator kaderisasi partai yang mulai
menanyakan maksud kedatangan kami. Tidak lama setelah hal itu berselang muncul
lagi seorang pengurus partai yang menjadi mantan walikota bernama Djarot Syaiful Hidayat. Dia menceritakan
pentingnya azas Pancasila yang menjadi dasar dan ciri atau karakter bangsa
Indonesia. Dia juga menjelaskan betapa bangsa kita ini sedang berada dalam
penjajahan ekonomi dan penjajahan karakter atau kebudayaan. Tidak berpegang
teguh pada Pancasila membuat bangsa kita kehilangan pegangan. Dia memberi
contoh Cina yang memegang teguh prinsipnya sehingga sekarang mereka justru
semakin maju. Setelah cukup lama memberikan masukan pak Djarot pamit lebih awal
dan kami kemudian menyusul.
@DPP PDI-P
Petang harinya kami datang ke KONTRAS. Kami
disambut dengan ramah oleh salah seorang pengurus di sana. Di KONTRAS kami
mendapat penjelasan tentang panjangnya cerita pelanggaran HAM di Indonesia.
Pada kesempatan ini kami mendapat keterangan lengkap tentang pelanggaran HAM di
Bima. Bagaimana para penduduk justru ditipu ketika mereka dan dengan sengaja
dihantam dengan kekuatan militer, bahkan isu tentang adanya sniper sungguh
nyata. Mendengar penjelasan tersebut saya sepertinya mendapat pemahaman yang
komprehensif karena mereka adalah orang-orang lapangan. .
Kesokan pagi pada tanggal 27 kami berkunjung ke
KPK. Sewaktu datang kesana saya sudah agak malu karena banyaknya wartawan di
depan KPK. Apalagi ada orang yang diwawancarai. Ketika kami masuk ke KPK
ternyata keamanan yang ada di KPK justru lebih ketat daripada di DPR. Mulai
dari tempat parkir di tanyai satpam, berikut masuk keruangan harus memakai
tanda pengenal, bahkan pintu antar tuangan memakai kartu pengaman (tapi salah
satu sudah kiami rusakkan). Kami masuk dan melewati Direktorat Gratifikasi. Di
etalase tersebut di pajang barang-barang gratifikasi. Tidak banyak yang bisa di
dapatkan di KPK karena pematerinya terburu-buru. Setidaknya kami tahu sejarah
berdirinya KPK serta sepak
terjangnya. Keingintahuan saya
tentang apakah KPK berhak untuk melakukan penyadapan telah terjawab setelah
membaca slide show tersebut. Pak Dani
ayng menerima kami mengatakan bahwa KPK telat didirikan di Indonesia padahal
negara-negara lain sudah lebih awal mendirikan lemabaga pemberantas korupsi.
Sejak didirikan perjalanan KPK tidak lah berjalan mulus. Mulai dari kasus
Antasari sampai Bibit dan Samat dipakai menajdi alasan menjatuhkan KPK.
@KPK
Berangkat
dari KPK kami pergi bertemu pak Johan Effendi
di CSIS. Kali ini dia tidak sendiri. Dia ditemani oleh pak Phillips dan
seorang lagi yang saya lupa namanya. Kami masih membicarakan bagaimana
paham-paham ekstrem masih menyebar di lingkungan kampus. Tidak lama setelah
berdiskusi kami kedatangan seorang tokoh lagi yang tidak kalah “antik”nya
dengan pak Johan. Beliau-beliau ini adalah orang yang hidup seperjuangan dengan
padar pendiri bangsa. Saya seperti melihat sejarah yang hidup. Pada pertemuan
ini setidaknya ada delapan hal yang saya dapatkan yaitu, perlunya kejelasan ide
organisasi, perlunya patron, hindari free riders, berpikir secara nasional,
menjadi diri sendir (punya karakter), pentingnya berpolitik (it takes two to
tango), pentingnya membentuk gagasan dan kekuatan. Semua hal tersebut sangat
penting dalam membentuk kualitas diri, organisasi maupun partai. Menjaga cita-cita, tujuan serta bentuk organisasi
memang sangat penting. Tambahan dari pak Johan Effendi, beliau mengatakan bahwa
di dunia ini berlaku suatu golden rule, yaitu
perlakukanlah orang lain seperti dirimu sendiri.
Foto bersama Johan Effendi
Kegiatan Kuliah Politik di Jakarta
ini sangat bermanfaat dalam pengambangan kami sebagai individu maupun sebagi partai. Seluruh rangkaian kegiatan yang kami lakukan ini semata-mata adalah untuk pengembangan kader-kader yang berkualitas sebagai bentuk eksistensi Partai kami mata masyarakat UGM.
Ditulis oleh : Abraham Nempung
Ditulis oleh : Abraham Nempung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar